Jumat, 27 Januari 2023

PONDOK PESANTREN TAHFIDZUL QURAN PENELEH SURABAYA

Komitmen Mencetak Generasi Al-Quran


Bangunan rumah berlantai dua itu sangat sederhana, terletak di  dalam Kampung Peneleh Gg. V, di jantung Kota Surabaya, berhadapan langsung dengan pintu utama Masjid Peneleh. Lokasinya berdempetan dengan rumah-rumah warga di sekitarnya, tidak seperti layaknya bangunan sebuah pondok pesantren pada umumnya.

Bahkan, di pondok pesantren tertua di tengah kota Surabaya ini, tidak memiliki halaman luas apalagi lokasi parkir.  Ya, itulah Pondok Pesantren  Tahfidzul Quran yang lebih dikenal dengan nama Pondok Pesantren Peneleh. Ponpes Peneleh di masa jayanya merupakan salah satu pondok hebat yang sukses mencetak generasi Al-Quran dengan metode pengajaran konvensional dan privat.

Sayang, kejayaan itu dari tahun ke tahun mulai memudar seiring wafatnya pendiri Pondok Pesantren Peneleh almarhum KH Dahlan Basyuni di tahun 2009 silam. Kondisi ini seakan Pondok Pesantren  Peneleh seperti kehilangan induk semang.

Ketika Majalah Aula berkunjung di Ponpes yang berada di kampung lama ini, kondisi pesantren terlihat mulai tidak terawat.  Ketika kami mengetuk pintu ruang tamu, seorang santri putri membukakan pintu dan mengucap salam dengan ramah.

Ruang tamu sekitar 3 m x 3 m itu terhampar karpet tua dan sebuah ranjang busa yang sudah usang. Di atas ranjang tua itulah duduk Nyai Hj. Aminah Dahlan (68), asal Rembang  istri Alm. KH Dahlan  Basyuni. Saat ini kondisi kesehatan Nyai Aminah yang sudah sepuh cukup memprihatinkan. Sehari-hari hampir tidak pernah beranjak dari atas ranjangnya, kecuali bila ada undangan khusus yang harus dihadiri. Karena sesungguhnya pada saat beliau  masih sehat sering silaturahmi ke beberapa ponpes, dan menghadiri berbagai undangan untuk tausiah dan mengajar ngaji.


Mencetak Generasi Al-Quran

Bermula dari pengajian rutin yang diselenggarakan oleh warga kampung, justru menjelma sebagai sebuah pondok pesantren. Bahkan, santri yang menempuh ilmu agama di Ponpes Peneleh ini tidak hanya berasal dari Surabaya saja, tapi juga dari pulau Jawa. Tidak hanya itu, di masa kejayaannya Ponpes yang berada di kampung lama Kota Surabaya ini, juga menampung santri dari luar negeri, yakni Malaysia.

Pada tahun 1975, Kiai Dahlan pergi ke Makkah selama 2 tahun, kemudian ke Malaysia lalu kembali lagi ke Makkah. Kemudian di tahun 1980-an, Kiai Dahlan kembali pulang ke Surabaya. Pada mulanya Ponpes ini bernama Roudlotul Ta’limil Qur’an (RTQ),  lalu diganti dengan nama Ponpes Sunan Ampel,  namun tak berselang lama kemudian dirubah lagi menjadi Ponpes Tahfidzul Quran, yang kini lebih dikenal dengan nama Ponpes Peneleh, karena pondoknya menempati Masjid  Peneleh. 

Sementara di era tahun 1985, pondok Peneleh ini pindah di depan masjid, karena masjid dipugar. Di tempat yang baru tersebut, pondok menempati bangunan berlantai dua dengan 10 kamar untuk santri putra. Sedangkan untuk  pesantren putri yang didirikan sekitar tahun 1970 dan diasuh oleh  Nyai Hj Aminah, letaknya di atas rumah beliau.

Karena pada prinsipnya Kiai Dahlan menginginkan pondok tidak jauh dari masjid,  agar para santri melakukan sholat berjamaah di masjid, yang bertindak sebagai imam adalah Kiai Dahlan sendiri.  Sedangkan para santri setiap hari mengaji Al-Quran di dalam pondok maupun di masjid.

Namun pada perkembangannya, di tahun 1980-an, Kiai Dahlan tidak ingin menerima santri banyak. “Menurut beliau lebih baik sedikit santri dengan hasil mantap, daripada banyak tetapi hasilnya kurang mantap,” tutur Ustadz H Moch. Nasruddin (42), yang nyantri di KH Dahlan sejak tahun 1995 itu. “Begitu juga dalam setoran hafalan para santrinya, Kiai Dahlan maupun istrinya, Nyai Aminah tidak suka banyak-banyak, lebih baik sedikit tetapi  mantap, daripada banyak tapi hasilnya tidak mantap,” lanjut ayah seorang anak ini.

“Karena kami ingin mencetak generasi Al-Quran dan memasyarakatkan Al-Quran, menghafal dan mengamalkan Al-Quran, mengingat semua sendi kehidupan telah termaktub dalam Al-Quran,” tutur Nasruddin yang pernah nyantri di Perak, Jombang ini. 

Karenanya, Nasruddin menegaskan, sejak dulu hingga kini Ponpes Peneleh ingin menciptakan santri-santrinya lebih modern, bisa melanjutkan kuliah,  menjadi pengusaha, pejabat dan sebagainya, tetapi tetap berpedoman pada Al-Quran. Oleh sebab itu, sistem pengajaran di ponpes ini masih menggunakan motode sorogan.

Yakni, Kiai membaca kemudian santri menirukan. Sedangkan guru mendengarkan bacaan santrinya dan membetulkan bacaan santrinya bila salah membacanya. Esok harinya, para santri menyetorkan hafalannya. Materi yang diajarkan ialah yang terkandung dalam Al-Quran. Selain ilmu Al-Quran, para santri juga mendalami kitab-kitab kuning. Seperti Ta’limul Muta’allim, Fathul Qorib, Bidayatul Hidayah, Fathul Jannah dan lain-lain. Para santri juga diajarkan Seni Hadrah dan Qiro’ah.

”Banyak ponpes, yang para pengasuhnya cukup hanya mendengarkan para santrinya yang mengaji, kalau salah dibetulkan, jadi tidak menirukan apa yang dibacakan oleh Pak Kiai atau Bu Nyai,” tutur Nasruddin.

“Metode pengajaran yang disampaikan oleh Kiai Dahlan dan Bu Nyai Aminah ini, seperti Allah SWT saat menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril,” lanjut Nasruddin ramah. 

Ia pun menjelaskan, bahwa santri lulusan  Ponpes Peneleh ini tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bahkan ada yang di Malaysia dan di Kairo sebagai dosen. “Bapak Arif Afandi (Red : Pemimpin Umum  Majalah Aula) juga salah satu mantan santri Kiai Dahlan,” tutur Nasruddin tersenyum.

Di mata Nasruddin Kiai Dahlan  adalah sosok yang istimewa. “Beliau sangat istiqomah dan menjunjung tinggi tradisi salaf, dengan menampung para santri yang ingin belajar dan menghafal Al-Quran, agar di dalam tubuh para santri tumbuh benih-benih Al-Quran,” tutur Nasruddin di dampingi istrinya Neny (32),  dan Ubaidur Rachman (37) yang tak lain adalah keponakan Nyai Aminah dari Rembang ini.

 

Kehilangan Induk Semang

Wafatnya pendiri Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Peneleh, almarhum KH Dahlan Basyuni tahun 2009 silam, membuat Ponpes Peneleh seperti kehilangan induk semang. Bagaimana tidak, sejak saat itu jumlah santri dari tahun ke tahun terus menurun.  Kini jumlah santri putra hanya 25 orang, dan santri putri sekitar 15 orang.

Itupun para santri membayar semampunya, yang penting bisa menutupi biaya membayar listrik, air dan makan dengan menu sangat sederhana.  “Para santri seperti kehilangan induk semang,” tutur ustadz Nasruddin.  “Banyak orang yang tidak tahu, bahwa di jantung kota besar Surabaya ada Ponpes Peneleh, ponpes legendaris yang kondisinya sangat memprihatinkan dan jauh dari perhatian pemerintah dan kaum darmawan,” lanjutnya prihatin.

Untuk diketahui, KH Dahlan Basyuni lahir di kampung Peneleh, Surabaya tahun 1931. Ayahnya bernama KH Basyuni merupakan  tokoh masyarakat yang juga masih keturunan dekat dari Sunan Ampel Surabaya. Sedangkan dari nasab ibunya masih keturunan Sunan Giri Gresik.

Sejak kecil Kiai Dahlan diasuh sendiri oleh bapaknya dan tokoh-tokoh setempat. Setelah ayahnya wafat, Kiai Dahlan dibimbing kakaknya untuk melanjutkan menghafal Al-Quran. Kiai Dahlan juga memperdalam ilmu di sejumlah pondok pesantren di Jombang maupun di Jawa Tengah. Seperti di Peterongan, Jombang, Pondok Krapyak Yogyakarta, Pondok Sarang Rembang, Pondok Kudus dan lainnya.  Pada tahun 1964, Kiai Dahlan kemudian menikah dengan Nyai Siti Aminah, lulusan dari Ponpes Kajen (KH. Abdillah Salam), yaitu putri dari KH.As’ad, Pondok Tasik Agung, Rembang.

Lalu apa hubungannya Masjid Peneleh dengan Ponpes Peneleh yang terletak di depan masjid ?  Masjid Peneleh atau Al Akhyar merupakan salah satu masjid peninggalan Sunan Ampel. Sejak berdiri sekitar tahun 1800 hingga kini masih dilestarikan dan dikembangkan oleh ulama-ulama/tokoh-tokoh masyarakat yang masih punya nasab dengan Sunan Ampel sampai sekarang.

Terkenal dengan  nama Masjid Peneleh, karena dahulu penghuninya adalah orang-orang pineleh (terpilih), yakni tokoh-tokoh masyarakat setempat, yang berjuang membela tanah air dan agama Islam di jalan Allah SWT. Masjid ini mengalami berbagai renovasi oleh takmir masjid dari generasi ke generasi.

Setelah takmir masjid dijabat almaghfurlah KH Basyuni Al Ja’fari, ketakmiran Masjid Peneleh dilanjutkan oleh almaghfurlah KH Basyuni Syamsuddin, dengan dibantu putra-putranya. Yaitu H Munib Thohir, KH Anas Thohir (Pendiri Majalah Aula) dan Dr Moch. Thohir.

Setelah Kiai Basyuni Syamsuddin wafat, tapuk pimpinan Takmir Masjid Peneleh dilanjutkan almaghfurlah KH Dahlan Basyuni. Semasa hidupnya Kiai Dahlan dibantu oleh KH. Zakki Ghufron dan sesepuh Peneleh, yaitu KH  Wahab Turham serta H. Agus Churmat. *) rm

*) Dimuat di Majalah AULA edisi Mei 2018